Tak ada kisah yang sempurna karena manusia hanya dipercaya untuk mengikuti seknarioNya, tidak untuk memutuskan akhir ceritaNya. Ketika
cinta datang menyapa sepi dan memeluk erat jiwaku yang lelah ini.
Dialah yang berhasil menarikan tarian-tarian cinta di atas khayalanku.
Dia pula yang berhasil melukis pelangi di balik mataku, melebihi lukisan
terindah pelukis dunia. Aku tahu tak selamanya kita bersama. Seperti
malam yang tak pernah bertemu siang dan seperti bulan yang enggan
bertemu mentari. Sekeras apapun hati kita, bila sudah tertulis di
tanganNYA, selamanya kita tak akan bersama. Meski ku tahu, dia adalah
belahan jiwaku.
Aku tak pernah sedikitpun menyerah
untuk memilikinya. Dialah kebahagiaan sejati yang kumiliki. Dia pula
yang membuatku bertahan hingga detik ini. Bertahan untuk tak menerima
cinta yang lain, selain cinta darinya. Cinta yang kumiliki, seperti
bunga sakura, bunga cantik yang hanya tumbuh ditempat yang diberi musim.
Bunga yang tak akan pernah tumbuh di tempat lain, meski berada di
tempat terindah sekalipun.
“Farhan, aku menyerah. Apa
yang kita lakukan pasti akan sia-sia,” ucapnya dengan nada lirih. Ku
lihat air matanya yang bening perlahan menuruni pipinya.
“Aku gak akan pernah menyerah untuk mempertahankan hubungan kita,
Arini,” ucapku pasti dengan menahan luka di bibir. Luka menyayat hati
yang kudapat dari seorang yang menentang hubungan kami.
“Farhan, kamu harus pikirkan dirimu juga! Aku gak mau kamu mati hanya
karena berusaha untuk mendapatkan aku. Aku mohon, jangan pernah
memaksakan ego-mu lagi! Ayah tidak akan pernah merestui hubungan yang
kita jalin selama tujuh tahun ini,” kata Arini. Kata-kata yang semakin
menyulutkan amarahku yang terpendam cukup dalam.
“Aku
juga lelah Arini! Aku lelah harus berbuat baik di depan Ayahmu. Aku
lelah untuk melawan keegoisan Ayahmu. Tapi, aku tak akan pernah
sedikitpun menyerah untuk hubungan kita. Sudah terlalu jauh kita
menjalin hubungan ini, Arini.”
“Aku tahu, Farhan.
Mungkin, kita ada hanya untuk mencintai, tidak untuk saling memiliki.
Kita tak bisa menentang apa yang telah menjadi kehendakNYA,” ucap Arini.
Aku terdiam.
“Aku mau kita mengakhiri hubungan ini.” kata Arini memecah kesunyian.
Aku menatap mata indah yang memancarkan kesedihan yang begitu hebat
itu, “Arini, kesalahan terbesar jika aku harus meninggalkanmu. Aku tak
akan pernah membiarkan mimpi yang kita inginkan selama ini harus berlalu
begitu saja. Kamu tahu kan, Arini? Aku ingin membahagiakanmu. Kamu
tidak akan melupakan janjiku itu kan?” kataku sambil mengenggam
tangannya.
“Tapi, aku tidak bisa menentang Ayah,
Farhan. Ayah pasti tahu apa yang terbaik untukku, meski aku tahu itu
belum tentu baik dimataku,”
“Ayahmu hanya memandangku
sebelah mata, ia tak pernah memandang bagaimana aku membahagiakanmu
selama ini. Kamu harus yakin Arini, aku akan berusaha untuk menjadi
lebih baik dari sekarang. Karenamu aku berusaha,”
“Maafkan aku, Farhan. Maaf... mungkin inilah jalan terbaik untuk kita.
Aku gak mau melihat kamu tersiksa karena mencintaiku.” kata Arini lirih
dengan suara yang bergetar.
Aku benar-benar pedih
mendengar kata-kata yang terucap dari bibir kekasihku. Mengapa dia
selemah ini menghadapi badai yang seharusnya bisa kami lalui? Tak
kuatkah bila mencoba bertahan meski sebenarnya hati ini rapuh? Mengapa
ia tak tahu bahwa cinta yang telah terukir manis ini sulit untuk aku
lepaskan? Mengapa hanya karena masa depan yang tak pernah terjamah
secara pasti, hubungan yang ingin kubawa menjadi sempurna harus
terhalang?
Sejak ia memutuskan untuk berpisah lima
tahun yang lalu, tak pernah aku membuka hati untuk wanita lain. Dialah
satu-satunya wanita yang aku inginkan. Aku betah membiarkan diriku
digenggam kesepian. Aku telah membulatkan tekadku untuk menunggu Arini
singgah kembali dihatiku. Namun tidak dengan Arini. Beberapa bulan
setelah memutuskan hubungan denganku, ia memilih untuk pindah ke luar
kota. Dia ingin melupakan semua yang pernah kami lalui. Dan benar saja,
di tempat barunya, ia bertemu seorang laki-laki yang kemudian
menikahinya. Sungguh sulit untuk kupercayai kabar buruk itu. Aku
benar-benar tak menyangka bila Arini secepat itu melupakan aku. Tapi,
aku yakin cintanya hanya untukku.
Suatu hari aku
bertemu dengan Ibu Arini di sebuah toko baju dekat toko Mas milikku. Ya,
aku yang sekarang berbeda dengan aku yang dulu. Rupanya inilah jalan
terindah yang Allah berikan. Aku yang dulu dipandang sebelah mata karena
tak memiliki pekerjaan tetap, kini telah berhasil menghapus dan
membuang jauh anggapan itu. Aku menyapa wanita paruh baya itu. Wanita
yang biasa aku panggil Bu Tanti itu tersenyum kecil kepadaku. Aku masih
ingat saat menjalin hubungan dengan Arini, Bu Tanti-lah yang selalu
menjadi penengah bila Ayah Arini selalu memojokkan hubungan kami. Aku
mengajak Bu Tanti untuk mengobrol sejenak di sebuah tempat makan untuk
melepas rindu setelah lama tak bertemu.
Tak terasa
hampir satu jam aku dan Bu Tanti berbincang-bincang. Selama
perbincangan, Bu Tantilah yang banyak berkisah ini-itu. Ia menceritakan
tentang Arini sejak kami berpisah. Dan, aku sangat sedih mendengar kisah
yang diungkapkan Bu Tanti. Hatiku benar-benar menangis setiap beliau
menceritakan bait demi bait tentang Arini. Dadaku serasa sesak dan
berat. Aku sangat mencemaskan keadaan Arini. Arini mengalami gangguan
jiwa. Sudah hampir dua tahun ini Arini direhabilitasi di sebuah rumah
sakit jiwa karena ia tak tahan dengan perilaku kasar suaminya dan
mengetahui bahwa ia adalah istri keempat yang dipersunting oleh
suaminya. Aku tak pernah membayangkan bahwa kisah yang harus dihadapi
Arini begitu berat. Sangat berat. Lebih berat dari perjuangan yang harus
kulakukan demi mempertahankan hubunganku dengannya dulu. Aku tahu apa
yang Arini rasakan. Ia tak mampu melewati ini sendiri. Arini butuh
belahan jiwanya. Ya, belahan jiwa yang tak lain adalah aku. Usai
perbincangan di tempat makan, Bu Tanti mengajakku menemui Arini.
Awalnya, ia tak mau mempertemukan aku, namun aku mendesaknya karena aku
sangat ingin bertemu Arini untuk memecahkan kerinduan yang telah membatu
di hati.
Aku melangkahkan kakiku menuruni anak tangga
di sebuah rumah sakit jiwa. Mataku menjelajahi lingkungan sekitar.
Kulihat orang-orang yang mengalami gangguan mental bertingkah aneh dan
membuatku miris. Terbesit dipikiranku Arini bertingkah seperti mereka.
Berbicara sendiri, melompat kegirangan, menciumi boneka barbie dan masih banyak lagi.
Bu Tanti menghentikan langkahnya tepat di sebuah kamar berukuran kecil.
Pintu berjeruji menyambut kedatanganku. Suara seorang wanita
melantunkan ayat-ayat suci terdengar mengalun sangat jelas. Suara yang
telah bersahabat dan telah lama tak mampir di kedua indra pendengaranku.
Arini. Dengan memakai kerudung yang menutupi hampir seluruh tubuhnya,
ia terdengar fasih membaca ayat suci yang ada di hadapannya.
Aku mencoba menyapa. Namun, saat aku menyapanya, Arini terlihat
ketakutan, mengerang dan berteriak menyuruhku untuk pergi. Tangannnya
memegang kepalanya erat. Matanya yang dulu kulihat begitu indah dan
manis, membelalak menakutkan. Aku tak sanggup menyaksikan Arini seperti
ini. Aku tak sanggup. Arini benar-benar telah melupakan aku. Ia tak
mengenalku lagi. Ia mengumpat kata-kata kotor padaku. Aku tak tega
melihat Arini tersiksa seperti ini.
“Beginilah sikap Arini setiap hari Nak Farhan,” ucap Bu Tanti padaku dengan mata yang berbinar-binar.
”Ibu dan Bapak minta maaf karena telah memisahkan kalian. Maafkan ibu
yang dulu tak bisa berbuat apa-apa untuk hubungan kalian ya, Nak,” pinta
Bu Tanti.
”Seharusnya saya yang minta maaf, Bu. Seandainya saya tidak meninggalkan Arini, mungkin semuanya tidak seperti ini,”
”Seandainya Bapak tidak memisahkan kalian, Arini juga mungkin tidak
akan ada di sini,” ucap Bu Tanti sambil menatapku. Simpati.
Aku tak tahu mengapa aku tak mampu memahami hati ini. Terlalu sulit
bagiku untuk mencari makna yang terselip jauh di relung jiwaku. Karena
cinta yang dulu aku tanam kini berubah menjadi layu. Arini, engkau telah
terlanjur menempati ruangan hati ini. Kini aku telah datang untuk
menjemputmu kembali. Kan kubawa kau melayang melintasi mimpi-mimpi kita
dan menari indah di atas khyalanku. Tak kupedulikan pikiran sakit yang
menyusupimu. Aku tetap mencintai kekurangan dan kelebihanmu, Arini.
Cepat sembuh Arini agar kita bisa kembali merangkai untaian mimpi yang
ingin kita wujudkan. Akan kutunggu damai jiwamu sampai kapanpun, karena
hanya kamu soulmate-ku.
this story posted first time here, based on true story
Tidak ada komentar:
Posting Komentar