Malam ini, akhirnya semua penantianku selama ini akan
usai. Aku merapikan blazer hitam
yang sedang kukenakan. Ku sebarkan wangi parfum maskulin di beberapa bagian
tubuhku. Aku siap. Ku raih sebuat bullet
bunga mawar lengkap dengan pita emas dan sebuah kartu kecil yang beruliskan ‘Be mine, forever’. Lalu, satu benda yang
tak kalah pentingnya untuk malam ini. Cincin.
Malam ini adalah malam yang sangat berarti untukku. Dalam sebuah
hubungan, mungkin sepuluh tahun bukanlah waktu yang lama. Ketika sepasang
pencinta telah menemukan apa yang dicari dari pasangannya, apalagi yang
ditunggu bila suatu hubungan yang lebih? Sebuah hubungan yang mempererat ikatan
kasih satu sama lain.
Aku melirik Swiss Army
di pergelangan tangan kiriku. Pukul depalan malam lebih sepuluh menit. Helen –
kekasihku, ia tak tahu bahwa hari ini aku akan datang menemuinya dalam hal yang
lebih dari sekedar pertemuan biasa. Aku akan malamarnya.
Kulewati sebuah motor yang terparkir di halaman rumah
Helena. Entahlah, mungkin teman Dika – adik Helen, sedang bertandang di sebuah
rumah sederhana dengan rimbunan tanaman hijau dan beberapa bunga mungil yang
sedang sedikit layu di terangi cahaya lampu taman yang temaram.
“Aku sayang kamu,” suara seorang laki-laki samar kudengar
dibalik jendela ruang tamu.
Aku mengernyitkan dahiku, aku memaksimalkan indra
pendengaranku, menangkap suara dari bari ruang tamu sesedikit apapun itu, “Aku
juga, Ren. Thanks, selama ini udah
mau ngertiin gue. Sorry, kalau gue
nggak sepenuhnya cinta sama loe. Tapi, loe lebih baik dari Aji.” Suara itu
terdengar jelas, suara yang sangat familiar.
Terdapat jeda yang lama dari pembicaraan dua orang di ruang
tamu. Aku mengendap-ngendap mendekati pintu rumah yang sejak sepuluh tahun
terakhir itu akrab denganku. Ku kecilkan gesekan langkah kakiku pada lantai
teras. Kusiapkan hatiku, mengira semuanya baik saja. Tapi, nyatanya mungkin mala
mini bukan bagianku untuk bahagia.
Mata perempuan itu membulat. Wajahnya seketika memerah dan
membuat sikapnya kaku dan terkejut dengan kedatanganku. Laki-laki yang
dihadapannya, ia menoleh ke arahku. Melepaskan ciumannya di kening perempuanku,
Helena. Ia sama terkejutnya.
Aku tidak menjawab apa-apa. Kubiarkan mereka tenggelam dalam
situasi yang tidak mereka ingini. Bullet mawar itu jatuh dari genggaman tanganku. Aku semakin
sesak, menahan kebencian yang semakin naik ke dadaku. Kutinggalkan mereka malam
itu.
“Raihan, please
dengerin aku dulu” teriak Helena samar-samar terdengar dari kejauhan ketika aku
meninggalkannya.
Sahabat, yang semestinya menjadi pendukungmu, bisa saja
berbalik menikammu dari belakang. Tanpa ampun dan tanpa kamu sadari, secepat
kamu mengenalnya pertama kali. Reno, dia sahabatku bahkan kita bersahabat jauh
sebelum aku dan Helena menjalin sebuah hubungan. Bagiku, Reno bukan hanya
sekedar sahabat tapi lebih dari itu.
Aku memejamkan mataku seakan ta percaya dengan apa yang
terjadi malam ini. Ingin aku tidak mempercayainya namun, aku melihatnya dengan
apa yang kupunya. Kuraih ponsel setelah lama bordering sejak aku meninggalkan
rumah Helena.
“Ji, maafin aku. Dengerin aku ngomong dulu, ya?” suara
seorang perempuan dengan nada bergetar parau.
“Maaf, aku sama kamu bukan siapa-siapa lagi malam ini. Jangan
ganggu aku lagi, ya?” balasku kemudian dengan terpaksa kutekan tombol end call ponsel.
Cincin itu, masih ada digenggamanku. Cincin yang awalnya
akan kuberikan pada perempuan yang kukira sudah pantas menjadi miliku. Tapi,
mungkin bukan saatnya cincin ini melekat di jari perempuan yang selama sepeuluh
tahun kukenal. Mungkin saja, ada perempuan lain yang sedang menunggu memasangkannya.
Mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar