Membiarkannya masuk ke dalam kehidupanku merupakan sesuatu yang salah.
Aku memiliki cinta yang bisa membenarkannya. Tak peduli seberapa banyak
orang tidak menginginkan hal ini terjadi kepadaku. Aku mencintainya
tanpa mengharap sesuatu di atas selain cinta yang sama. Begitulah
hakikat cinta yang seharusnya orang ketahui.
Om Hans belum juga sadar, pria berumur tiga puluh tujuh tahun itu
terbaring lemah. Luka yang membiru di bagian tubuhnya membuat aku
semakin sadar bahwa cinta kami semakin kuat.
"Gue ga ngelarang loe buat pacaran sama Oom Hans, Mel. Dia baik
tapi, apa loe mau liat Oom Hans menderita?" ucap Kikan memecah sunyi
ruang opname. "Oom Hans udah terlalu berbuat banyak buat loe",
"Gue tahu, gue sayang sama dia, Ki. Gue ga akan ninggalin Oom Hans,
meski keluarga gue ngejauhin gue." jawabku dengan suara parau seraya
menggenggam tangan Oom Hans erat.
"Ki, sebagai sahabat gue selalu dukung apa yang jadi pilihan loe".
Kikan mendekat dan meletakkan tangannya di kedua bahuku, "Tapi, cara loe
mendapatkan Oom Hans, itu yang salah. Orang tua loe, istri Oom Hans dan
keluarganya, mereka yang jadi korban dari hubungan kalian",
"Terus apa yang mesti gue lakuin? Semua sudah terlambat, bahkan untuk memulai yang baru saja-"
"Mel, mencintai orang yang loe sayang tidak hanya dengan
memilikinya. Membiarkan ia bahagia dengan orang lain, itu jauh lebih
berharga, Mel".
Aku tidak bisa memungkiri, pria yang berada di depanku ia berhasil
menarikku dalam kehidupannya. Awalnya, aku tidak ingin semua ini
terjalin begitu saja. Aku mencintai Oom Hans hanya karena perhatian yang
tidak kudapat dari orangtuaku. Dan Oom Hans memilihku, ia hanya
menjadikan aku sebagai pelarian dari pernikahannya yang gagal. Baik aku
maupun Oom Hans, kami tidak lagi memandang latar belakang yang
menyatukan kami tapi, ada hal yang lebih indah dari itu, cinta.
Lama, tak ada kata yang keluar dari mulut kami berdua, hanya suara
bunyi detak jantung yang menjadi nada pengusir sunyi. Kikan kembali
sibuk dengan ponselnya dan aku masih sama, menatap oom Hans dan
menggenggam tangannya.
Mendadak, denyut detak jantung Om Hans cepat. Om Hans membuka mata
sambil menahan sesak di dadanya. Aku menekan tombol memanggil perawat
untuk datang ke ruangan. Tak lama berselang, sebelum perawat itu datang,
garis vertikal pada alat pendeteksi detak jantung terlihat sangat
jelas. Tubuh Oom Hans tak bergerak.
Aku tak berhasil menahan air mata. Aku mencium tangan Oom Hans. Ia
telah pergi meninggalkanku tanpa memberiku kesempatan berbicara untuk
terakhir kalinya.
Kikan merangkulku ketika perawat datang memeriksa dan menyatakan bahwa aku harus menerima jalan yang tak seharusnya kumau.
Oom Hans meninggal. Ia hanya menyisakan cinta di relung hati tanpa
memintanya kembali. Membiarkan rasa yang diberinya kepadaku bersemaya di
lubuk jiwa. Selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar