Tampilkan postingan dengan label Short Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Short Story. Tampilkan semua postingan

4 Desember 2013

Timeless Story : Rain Falls Again



The Story Based on Puing Kenangan by Ungu


Abi's Part

Gerimis adalah salah satu hal baru di dalam hidupku. Entah sejak kapan aku mulai menyukai gerimis namun, belakangan aku menyadari sejak mengenalmulah aku jatuh hati pada gerimis. Bagiku gerimis tidak hanya memberikan ketenangan dan keteduhan namun, juga memberiku kenangan-kenangan tak terlupakan di masa yang lalu. Gerimis seolah memiliki kekuatan tak kasat mata yang mampu membawa seseorang menjelajah waktu dan perasaan.

Gerimis masih saja jatuh di balik kaca jendela. Titik embun mulai menempel dan membentuk tetesan-tetesan air yang menyejukkan. Hampir satu jam aku di sini, menyaksikan tiap butiran gerimis dari balik jendela. Terlintas di dalam pikiranku tentangmu, tentang kita yang pernah memiliki cerita.

Waktu itu....

Saat itu sudah hampir dua jam kita berada di kafe di kawasan Dago, tempat biasa kita menghabiskan waktu berdua. Namun, malam itu begitu berbeda. Tidak ada lagi senyuman indah dari balik bibirnya yang mungil. Dia seolah tidak sedang memusatkan perhatian untukku malam itu.

"Sayang, kamu kenapa sih?" ucapku sambil mencoba menenagkannya yang kulihat begitu gelisah dari balik wajahnya yang terpoles make up sederhana dan lipstik merah seperti yang biasa digunakan Taylor Swift.

"Aku nggak apa-apa, Bi. Mungkin cuma lagi nggak enak badan, kerjaan di kantor lagi banyak-banyaknya." jawabnya, "Abis ini, langsung antar aku ke rumah saja ya?" pintanya sambil menggenggam tanganku erat.

Aku sedikit tersenyum, "Seharusnya dari awal kamu bilang dong kalo lagi nggak enak badan, tadi kan bisa aku cancel aja acara malam ini," aku meraih ponsel dan mengenakan blazer yang kulepas, "Kita pulang sekarang aja ya!" ajakku sambil beranjak dari kursi.

Namanya Marsya, kami sudah bertunangan hampir setahun terakhir dengan waktu pacaran yang lumayan lama, lima tahun. Marsya adalah perempuan yang sederhana tidak begitu cantik, tidak banyak menuntut dan tidak memiliki banyak aturan yang harus aku patuhi. Mungkin hal kecil yang sederhana itu yang membuatku menjadikan Marsya sebagai tambatanku. Namun, terkadang aku memiliki rasa cemburu dengan dirinya yang smart dan memiliki banyak relasi. Terkadang pekerjaannya sebagai copy writer di salah satu production house di bidang iklan membuatnya harus bertemu dengan client terlebih client pria, membuatku cemburu. Mungkin hal itu yang membuat hubungan kita naik turun.

Setengah jam setelah melewati jalanan Dago yang macet total, akhirnya tiba juga aku di rumah Marsya. Sepertinya ia cukup kelelahan, nafasnya yang naik-turun teratur menandakan ia sangat nyenyak menikmati tidurnya. Hal yang paling menggemaskan, melihatnya tertidur seperti ini, hal yang sering terjadi.

"Sayang, bangun sudah sampai di rumah nih!" aku mencoba membangunkannya.
Marsya tersadar, ia mulai membuka kelopak matanya dan merapikan pakaian yang dikenakannya, ia melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya, "Aku turun dulu ya," pamitnya.

"Selamat tidur ya!" ucapku sambil mengecup keningnya, hal yang biasa kami lakukan.

***

Sudah hampir seminggu ini sejak dinner terakhir yang kami lakukan, Marsya sibuk dan seolah tidak memiliki waktu yang cukup untukku. Setiap kali kutelepon ada saja alasannya untuk tidak menjawab teleponku, kalaupun dijawab ada saja alasannya untuk segera mengakhiri pembicaraan.



12 September 2013

Cinta Diam Diam

Here we are share the stories
about life, dreams and hopes
me and you have a purpose
it made ​​me picked you to moorings my heart
good men for good women, isn't it?
 

Your manners makes ​​me like living lingering here
You are not so beautiful, not popular and even maybe not many men who likes you
but I'm lucky to see my future in your eyes
There, there's a happiness that can't be seen in other women


We've here,
but not to have each other
....


(We Have Here - Arif Darmawan)


     "Apa kamu akan merindukan aku jika suatu saat nanti kita berpisah?"
     "Hmmm, mungkin."
     Sudah hampir satu jam kami berada di kedai kopi ini. Americano yang tersaji di hadapanku kini sudah terseduh sebagian. Aku masih tidak tahu kapan lagi aku bisa menikmati waktu berdua seperti ini. Aku sungguh ingin memperlambat waktu yang kian lama semakin memaksaku untuk melangkah pergi. Aku masih belum bisa menerima bahwa hari ini adalah hari terakhir. Memang berat rasanya meninggalkan apa sudah kita punya selama ini. Terlebih, kita harus memulai sesuatu yang baru tanpa kebiasaan rutin yang pernah kita lakukan sebelumnya. 
     Aku terlalu melankolis menghadapi kenyataan hidup yang tengah kualami. Bagaimana tidak, aku yang terbiasa dengan orang selama ini telah kupercaya harus rela meninggalkannya. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa menemuinya lagi.
      Ingin aku memutar waktu dan membiarkan aku dengannya berlama-lama di dalam kebersamaan yang sudah mengikat erat. Besok aku akan pergi dan aku takut untuk kembali. Takut dia sudah termiliki.

***


     Aku mengemas barang-barang yang kubawa ke dalam koper berwarna merah marun. Sudah hampir setengah jam lebih aku berkutat dengan barang bawaanku. Hanya pakaian dan beberapa gadget dan benda penting lainnya yang seharusnya bisa kukemas dengan segera. Namun, nyatanya sejauh ini aku merasakan rasa yang sangat berat untuk benar-benar pergi dari sini.
      Aku memasukkan beberapa gadget yang kupunya ke dalam tas yang lebih kecil. Tanganku tertahan pada sebuah mata kalung berbentuk bangunan terkenal Prancis. Ada terselip cerita panjang yang hingga kini aku masih ingin merubah akhir ceritanya meskipun jelas aku sudah tahu bahwa akhir cerita yang kuingini tak akan pernah terjadi. 
     "Lo tau nggak? Kadang gue itu suka mimpiin lihat pemandangan kota Paris dari atas menara Eiffel bareng orang yang nantinya jadi pasangan gue. Pasti romantis banget deh, Gan!" ucap Maudy sambil mengunyah jagung bakar yang kami beli.
     Aku memandang night view kota Bandung yang terlihat berkilau dari tempat kami berada sekarang - Dago, "Kalo mimpi itu jangan ketinggian ntar elo jatuhnya juga bakalan sakit banget."
      "Kok elo ngomong gitu sih? Lo nggak suka ya gue punya mimpi kayak gitu?" ucap Maudy dongkol sambil menyenggol bahu kiriku.
      "Elo percaya jodoh nggak? Kadang gue suka penasaran deh, entar jodoh gue itu seperti apa. Suka tertawa sendiri kalo mikirinnya," balasku tanpa mempedulikan ucapan Maudy.
     "Jodoh itu udah kayak pagi sama malam, hitam sama putih, semua pasti punya jodoh. Elo tau kan kalo apa yang ada di dunia ini sebenarnya berpasang-pasangan, termasuk elo sama gue,"
      Aku menoleh ke arah Maudy yang sedang merapikan poni yang mengganggu matanya, "Elo sama gue? Maksud lo, kita berjodoh, gitu?"
      Maudy tertawa lebar, tangannya yang halus beberapa kali memukul lenganku, "Ya nggak lah, maksud gue, kita itu jodoh tapi cuma sebagai teman dekat. Iya kan?"
      "Anyway, kenapa lo nanya tentang jodoh? Elo udah punya jodoh siapa?" lanjut Maudy sambil memaksaku untuk bercerita.
     "Apaan sih? Nggak, gue cuma iseng aja nanya soal itu. Udah ah ayo pulang, udah malem juga ntar nyokap lo ngomel-ngomel sama gue," jawabku seraya beranjak dari sebuah kursi panjang yag terbuat dari kayu. Aku menghindar, aku tidak ingin ia bertanya lebih lanjut, aku takut ia tahu bahwa aku mulai menyukainya.
      Kenangan itu kembali menyeruak di dalam memoriku. Membuat aku mereka ulang kenangan yang pernah aku alami dengan Maudy. Malam ini, aku merasa menjadi manusia yang bodoh. Membiarkan takdir menuliskan apa yang seharusnya tertuliskan. Bukankah takdir juga bisa berubah jika ada usaha yang bisa kuperbuat? Nyatanya aku tidak mampu berbuat apa-apa hingga di malam terakhir ini.

***

     Sebentar lagi pesawat dengan tujuan Sydney akan terbang. Papa sedang sibuk menerima telepon dari rekan kantornya. Sedangkan Mama, ia juga terlalu sibuk mengurusi kedua adikku yang sedang rewel. Suasana bandara Soeta begitu ramai. Semua sibuk dengan urusan masing-masing. Sedangkan aku, hanya duduk sendiri kembali memandangi kalung Eifel yang berada di genggamanku. Sedih rasanya harus pergi meninggalkan orang yang kita sayang dan membiasakan diri untuk terbiasa tidak melibatkan mereka dalam segala situasi yang kita hadapi.
     "Harusnya lo ada di sini...." ucapku pelan sambil menggenggam erat kalung dalam tanganku. Kalung yang kembali membawaku pada kisah lalu yang mana bisa aku lupakan.

     Jam sepuluh pagi, saat itu aku sedang menyiapkan kotak kecil. Kubungkus dengan kertas berwarna biru muda dengan pita berwarna merah tua yang menimbulkan kesan manis pada kado berukuran mungil itu. Aku duduk di kantin sekolah menunggu Maudy datang menemuiku. Saat itu, aku berencana memberinya kalung bermata menara Eifel hal yang paling ia suka dari kota Paris. Dan saat itu pula, aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan yang selama ini aku pendam sendiri tanpa ia tahu.
     "Sorry, gue mesti gerjain PR Fisika gue duluan," suara lembut Maudy mendadak terdengar dari belakangku.
     Aku tersenyum sambil mengangguk sebagai tanda 'iya gue maafin' padanya, "Tadi kenapa lo nggak bareng gue berangkatnya?"
     "Oh iya gue lupa, kemarin si Ardy udah janji buat jemput gue. Ya udah gue iya-in aja, sorry ngga ngabarin lo semalam,"
      Ardy. Sebenarnya aku tidak ingin membahas tentang dia. Aku tidak cukup tahu tentang dia. Aku hanya tahu bahwa ia adalah mantan Maudy dan sedang melakukan pendekatan kembali pada Maudy. Dan Maudy, ia sangat senang saat Ardy datang kembali padanya bahkan sampai menyita waktu yang seharusnya kami habiskan berdua. Hanya itu yang ku tahu.
      "By the way, ada apa lo ngajakin gue ke sini?" 
     "Hmm gue cuma mau ngucapin selamat ulang tahun buat lo. Gue seneng sekarang lo deket lagi sama Ardy, semoga Ardy jadi kado indah buat ulang tahun lo," 
     "Thanks, Gani! Elo emang sahabat gue yang paling baik!"
     Hanya itu yang kudengar dari  bibir mungil Maudy saat itu. Ardy. Dia menahan kado yang telah kupersiapkan untuk Maudy. Kado yang seharusnya Maudy miliki. Tapi, aku tidak tahu sampai kapan kado itu akan bertahan dan tak akan pernah termiliki oleh Maudy.
     Ah, Maudy! Seandainya kamu tahu apa yang aku rasakan saat ini.

     Aku melenguh. Kutatap layar ponsel tak ada pesan baru dan tak ada telepon masuk. Aku tidak tahu kenapa sampai saat ini aku masih berharap Maudy datang menemuiku. Seperti di film yang pernah kita tonton, saat tokoh wanita menahan sang pria agar tidak pergi meninggalkannya. Seandainya sebuah film itu bisa menjadi nyata. 
     Pengumuman keberangkatan pesawat menuju Sydney diumumkan. Aku bergegas memasang tas ransel pada kedua bahuku. Papa dan Mama datang menghampiriku sambil menasihatiku untuk baik-baik di Sydney dan mengabarkan mereka saat aku sudah tiba di sana. Setelahnya, aku peluk mereka berdua dan dengan berat meninggalkan mereka. 
     Aku melangkahkan kakiku meninggalkan keluargaku yang mengantarku. Sesekali aku membalikkan badan, mereka melambaikan tangannya padaku seolah aku sedang memandang mereka. Namun, sebenarnya kau masih terlalu naif mengharapkan kedatangan Maudy di bandara. Nyatanya, ia memang tidak datang mengantar kepergianku. Miris.
     Kalung di dalam genggamanku semakin terasa ketika aku mendekati petugas yang akan memerikasa passport yang kupunya. Langkahku tertahan. Aku menatap kalung menara Eiffel tersebut. Untuk apa aku menunggu hampir empat tahun jika ternyata apa yang kurasa tidak pernah bersambut. Buktinya, Maudy tidak benar-benar menyayangiku, bahkan sebagai sehabatnya dengan mengesampingkan perasaanku padanya. Ia tidak mengantar kepergianku, itulah yang membuatku begitu kecewa.
      Maudy selamat tinggal. Gue harap, gue bisa lupain elo secepatnya.
      "Ssrrkk!" Suara kalung dalam genggamanku jatuh pada tong sampah yang berada di sampingku.

***

Sydney, 12 September ....


     Aku menyeduh teh hangat di meja belajarku yang berantakan dengan tugas kuliah yang harus kukerjakan malam ini. Layar komputer yang menyala menerangi sebagian wajahku di tengah pendarnya lampu kamar di flat tempatku tinggal. Aku mencari tombol e-mail untuk mengunduh tugas yang dikirim teman sekelasku. Namun, mataku menangkap sebuah e-mail dari nama yang mulai kulupakan selama hampir satu bulan ini. Maudy.

From : Maudinda Lestari
To     : Ghani Prasetyawan
Subject : Miss You

     Ghani, apa kabar lo di sana? Gue harap elo baik-baik aja di sana! Gue nggak tau elo bakal buka e-mail ini atau nggak, setelah gue tahu kalo elo pasti kecewa sama gue yang nggak nemenin waktu lo mau berangkat. Ghani elo itu sahabat gue yang paling baik, gue nggak punya sahabat yang baik, sebaik lo.
Jujur, saat gue tahu lo dapat beasiswa buat kuliah di Sydney, gue seneng banget tapi, itu yang gue tampakkan di hadapan lo. Nyatanya, sejak gue tahu kabar itu gue mendadak kesel sama lo, makanya gue terkesan ngehindar dari lo.
     Ghani, gue ngga tau apa yang gue rasakan. Gue juga ngga tau apa lo ngerasain apa yang gue rasakan. Oke, mungkin lo udah menangkap apa yang bakal gue omongin. Ya, bener! Gue sebenarnya suka sama lo sejak gue putus dari Ardy. Kenalnya gue sama lo, membuat gue lambat laun melupakan Ardy dan mulai tertarik sama lo. 
     Gue nggak tahu apa yang bakal lo lakuin saat ini. Mungkin, gue udah nyakitin lo dengan balikan sama Ardy yang banyak menyita waktu gue sama lo. Tapi, kalo boleh jujur saat itu meskipun lo tahu gue suka sama Ardy tapi, gue ngerasa masih nyaman sama lo. 
     Gue sebenarnya kesel sama diri gue. Gue diam-diam suka sama lo tapi nggak pernah berharap lebih karena gue tahu mungkin lo nggak akan mau sama gue. Waktu itu saat lo mau berangkat, gue ngga pingin lo tahu kalau gue suka sama lo karena gue takut gue menangis di depan lo dan menyatakan semuanya.
     Sorry, kalau gue bikin e-mail panjang begini cuma curhat. Setidaknya sekarang gue lega udah bisa mengatakan apa yang sebenarnya gue rasain sama lo. Elo jaga diri baik-baik ya di sana.


Maudy Lestari


29 Agustus 2013

A Little White House




Mungkin bagimu aku bukanlah orang yang bisa membahagiakanmu, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu satu-satunya yang bisa memberiku bahagia.”

Januari 2008....

Sampai saat ini aku masih belum tahu alasan yang jelas mengapa aku mau bertunangan dengan Rio. Bagiku, Rio adalah cowok yang biasa saja, agak tampan tapi, dia memiliki perhatian yang sangat kepadaku. Kadang aku berpikir, perhatiannya melebihi perhatian pacarku. Sahabatku sangat setuju aku bertunangan dengannya. Ya, aku akui itu memang nilai plus buat dia. Namun, sejujurnya, aku masih belum bisa menerima ia seutuhnya sebagai tunanganku.
Aku ingat benar saat aku dan dia dijodohkan. Aku mengutarakan semua isi hatiku padanya. Aku tidakk menyangka bila ia tak akan marah dengan apa yang telah aku katakan. Mungkin, kalau aku jadi Rio, aku sudah menggagalkan pertunangan yang digelar hampir setahun yang lalu itu.
“Kamu kenapa? Gak suka ya tunangan sama aku?” Tanya Rio memecah kesunyian suatu ketika saat kami berdua di danau tempat aku mencurahkan perasaanku.
“Hah? Siapa yang bilang begitu?”
“Kamu cerita saja sama aku, aku mau kok dengerin ceritamu,” pintanya.
Aku memandang wajahnya, “Rio, aku gak mau harus pura-pura bahagia di depan orangtuaku. Tebakanmu benar, aku gak pernah menginginkan pertunangan ini terjadi. Aku udah punya seorang kekasih,” aku memulai cerita.
“Lalu kenapa kamu mau menerima pertunangan ini?” Tanya Rio lagi.
“Sebenarnya, aku gak mau semua ini terjadi. Tapi, aku gak bisa mengecewakan kedua orangtuaku,”
“Jawabanmu polos banget ya!” respon Rio sambil mengusap rambutku.
“Aku juga sama denganmu, sebenarnya aku gak mau pertunangan ini terjadi. Entahlah, semakin aku berontak, orangtuaku semakin memaksaku untuk menjalani hubungan ini. Tapi, aku yakin bahwa gak selamanya pilihan orangtua kita adalah yang terbaik untuk kita. Kita tak pernah tahu apa yang akan kita hadapi ke depannya, bukan begitu?” tambah Rio bijak.
Aku tersenyum kecil, “Jadi, kamu gak marah kalau aku nggak mau tunangan sama kamu?”
“Ngapain marah? Perasaan kan gak bisa dipaksakan, bener nggak?” jawab Rio sambil menyenggol bahuku.
Thanks  ya!” jawabku lega.
Rio hanya mengangguk, “By the way, pacar kamu siapa? Udah  lama pacaran?” Tanya Rio begitu hangat.
“Namanya Dimas, aku dan dia sudah pacaran sejak kami duduk di bangku SMA, hampir sekitar enam tahunan gitu, kalau kamu?”
“Hmmm aku gak pernah punya pacar, kalaupun ada, itu berarti dialah cinta pertamaku.” Ujar Rio dengan senyumannya yang aku akui lebih manis dari senyuman pacarku.
“Oya, benarkah? Masa cowok seganteng kamu gak pernah punya pacar sih?” tanyaku heran.
“Iya, benar. Ngapain aku mesti bohong sama kamu.”
***
Hari-hari selanjutnya, hubunganku dengan Rio semakin dekat. Aku tak pernah sungkan untuk menceritakan masalahku padanya – termasuk bila aku marahan dengan Dimas – setiap kali ada kesempatan. Justru, moment itulah yang membuat hubunganku dengan Rio semakin hangat dan akrab sehingga membuat orangtua kami yakin akan keberhasilan pertunangan yang telah kami jalani ini.
Hampir setiap pagi, Rio rutin menjemputku untuk mengantarkanku kuliah. Bukan hanya itu, Rio sepertinya telah menyediakan waktukunya untukku sehingga setiap kali aku membutuhkannya ia selalu ada untukku.
Seperti malam ini. Malam ini aku akan makan malam dengan pasanganku, Dimas. Hampir setengah jam aku berdandan di depan cermin kamar. Dengan gaun berwarna putih dan rambut yag kubiarkan terurai, aku siap untuk menghabiskan malam mingguku ini.
“Sayang, udah ditungguin tuh sama Rio di depan!” kata mamaku yang berdiri di depan pintu kamar.
“Oh ya, Ma! Nih aku udah mau berangkat,” jawabku. Segera aku meraih tas tanganku dan meninggalkan kamarku.
“Hati-hati ya! Selamat bermalam minggu, sayang!” ujar mamaku sambil mencium keningku.
“Oke, Ma!” jawabku kemudian berlalu meninggalkan mama.
Setibanya di depan rumah, aku melihat Rio sedang menungguku di dalam mobilnya. Malam ini ia terlihat begitu tampan dengan kemeja kotak-kotak yang dikenakannya.
“Maaf, nunggunya lama ya!” aku meminta maaf seraya membuka pintu mobil dan duduk di sebelahnya.
“Nggak masalah.” Jawab Rio pendek kemudian ia menghidupkan mesin mobilnya dan berlalu meninggalkan rumahku.
Sepanjang perjalanan menuju tempat makan malamku  dengan Dimas, kami tidak saling bicara seperti biasanya. Beberapa lagu yang terdengar dari radio cukup membantu suasana sunyi yang tercipta di antara aku dan Rio. Sebenarnya, malam ini aku nggak tahu harus berkata apa lagi, sebab ini adalah malam mingguku yang kesekian, dimana Rio-lah yang mengantarkanku untuk menghabiskan malam mingguku dengan Dimas. Ya, Rio hanya mengantarkanku saja. Aku tak tahu harus berapa kali mengucapkan “terima kasih” atas kebaikannya kepadaku selama ini.
“Kenapa diam aja?” Rio mencoba mencarikan suasana.
“Gak pa-pa. Ri, terima kasih ya! Aku gak tahu harus berapa kali bilang ini sama kamu, kamu baik banget sama aku.” Balasku untuk memulai pembicaraan.
“Hahaha biasa aja lagi, Ki!” responnya sambil tertawa lebar.
“Ini udah jadi kewajibanku. Aku kan tunanganmu!” tambahnya sambil mengangkat alis kanannya.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang menggemaskan itu. Tuhan, mengapa engkau membuatku bingung seperti ini? Rio tak pantas untuk mendapatkan aku, dia terlalu baik untukku. Sedangkan aku? Aku hanya seperti memanfaatkannya saja, sementara perasaanku tak pernah sedikitpun ada untuk dia. Rio, semoga kamu mendapatkan seorang yang jauh lebih baik dariku.
***
Sekitar pukul setengah duabelas siang, aku dan Desi makan siang di kantin kampus. Suasana kampus begitu sesak dengan mahasiswa yang tengah menghabiskan waktu break-nya.
“Kikan, kenapa kamu gak putus aja sih sama Dimas? Sepertinya Rio lebih cocok deh sama kamu,” ucap Desi mengangetkanku.
“Emang kenapa aku harus putus sama Dimas?” tanyaku heran.
“Kamu tahu sendiri kan, kamu sama dia udah putus-nyambung, putusnya sebagian besar karena dia jalan sama cewek lain. Sedangkan kamu, masih maafin dia meski dia udah terlalu sering ngelakuin hal itu.”
“Nggak, aku sampai kapanpun nggak mau putus sama dia. Kamu tahu sendiri kan bagaimana susahnya pengorbanan aku buat dapetin dia waktu SMA dulu. aku yakin kok, ujung-ujungnya Dimas bakal balik sama aku.”
“Yah, ya terserah kamu aja deh. aku harap kamu gak kecewa sama pilihanmu. Tapi, kamu sebaiknya siapin mental kamu kalo seandainya tiba-tiba Dimas putusin kamu,”
“Kenapa kamu bisa ngomong kayak gitu?”
“Aku gak tahu ya, kamu sebenarnya nih tahu atau gak tahu kalo akhir-akhir ini banyak yang bilang kalo Dimas deket sama Shania, temen sekelasnya.”
“Oh, ya aku tahu, aku udah nanya kok sama Dimas. katanya, dia gak ada hubungan apa-apa, sekedar teman buat sharing tentang dunia photography.
“Hello! Nggak selamanya kamu percaya sama omongannya dia, Ki. Kamu tahu kenapa kamu percaya sama dia?”
“Ya, karena dia jujur sama aku,”
“Bukan, karena kamu terlalu polos buat dibohongin.”
***
Menjelang sore, hatiku sedang galau berat. Bagaimana tidak, sejak pulang kuliah Dimas tidak menghubungiku sama sekali. Beberapa kali aku mencoba meneleponnya namun, ia tak kunjung menjawab. Apalagi SMS yang aku kirimkan padanya tak ada satupun yang dibalas. Hingga akhirnya, SMS mengejutkan itu muncul di layar handphone-ku dan membuatku semakin galau.
Oh, jdi kamu ya yg brnama Kikan! Cantik sih, tapi syang pcar lo udah jlan sma aku.
Kamu siapa?. Balasku
Maaf ya, sbenarnya aku brat buat nyatain ini smua, maaf juga klo aku udah bkin kmu kcewa sama Dimas. Aku slingkuhan Dimas.  jawab orang tersebut.
Oh ya? Heran deh, jdi slingkuhan aja bangga. Balasku lagi.
Mending jdi slingkuhan tpi dinomor satukan, ktimbang jdi pcar tpi cuman jdi yg nomor dua, kasihan deh….
Hah! Aku benar-benar kesal dengan balasan-balasan SMS dari orang yang tidak kukenal itu. Rasa kekesalan yang ada di dalam hati memicuku untuk meneleponnya namun, tak pernah ada jawaban. Aku penasaran dengan orang tersebut. Apakah benar dia selingkuhan Dimas? Bukankah seharusnya aku percaya karena sudah beberapa kali aku putus dengan Dimas dengan kejadian yang sama? Ah, mana mungkin?
***
Taksi berwarna biru itu berhenti menurunkanku di depan sebuah rumah bercat hitam putih. Rumah yang tak asing bagiku, rumah Dimas. Aku memutuskan untuk menemui Dimas ketika aku mendapatkan balasan SMS yang menyakitkan beberapa waktu yang lalu itu. Aku ingin meminta penjelasan dari Dimas secara langsung.
Aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah. Setelah itu, mbok Mirah membukakan pintu rumah. Ia bilang kalau Dimas baru saja keluar bersama seorang wanita. Apa benar itu selingkuhannya? Pertanyaan besar itu menggeliat di kepalaku.
Hampir satu jam aku duduk di depan teras rumah Dimas. Aku menunggu Dimas. Sampai akhirnya, seseorang dengan menggunakan motor sport datang memasuki halaman rumah bersama seorang wanita yang diboncenginya. Seketika itu, dadaku berdegup kencang tak terkendali. Entahlah, aku merasakan cemburu dan kemarahan yang begitu hebat. Wanita inikah yang mengaku sebagai selingkuhannya Dimas? Dan wanita itu adalah Shania.
“Kikan, udah lama?” Tanya Dimas seraya membuka helm-nya.
“Dari mana saja kamu? Kamu kok susah dihubungi? Apa benar kalau cewek ini jadi selingkuhanmu?” cecarku tanpa basa-basi.
“Kikan, maksud kamu apa? Please, dengerin penjelasanku dulu!” ucap Dimas memohon.
“Gak ada yang bisa kamu jelaskan lagi, Dim! Semua udah jelas! Jelas, kalau kamu sudah gak cinta sam aku lagi dan jelas kalau kamu jelas-jelas ada hubungan sama cewek ini. Aku heran sama kamu, kenapa kamu masih mau menjalin hubungan denganku kalau kamu sendiri udah gak bisa menjalin hubungan denganku lagi.”
“Kikan, aku mohon, dengerin aku!”
“Buat apa aku dengerin kamu? Hah?”
“Oke, lalu mau kamu apa?”
“Mulai saat ini juga, jangan pernah hubungi aku lagi,” kataku kemudian berlalu meninggalkan dua orang yang ada di hadapanku. Satu orang yang yang merebut seseorang yang aku cintai dan satunya lagi seseorang yang tidak lagi bisa mencintaku.
***
Sebuah taksi segera membawaku pergi meninggalkan rumah seesorang yang saat ini begitu membuat hatiku hancur. Perasaanku semakin tak menentu. Aku tak pernah berpikir bahwa semua akan berakhir seperti ini.
Di dalam taksi aku tak bisa menahan air mata yang terus mendesak untuk keluar. Aku benar-benar kecewa sekaligus kehilangan. Mengapa semua harus seperti ini? Selama perjalanan, pikiranku melayang membuka lembaran-lembaran indah masa lalu dengan Dimas. Kenangan yang sepertinya sulit untuk kulupakan.
Namun kenangan itu segera menghilang seperti jiwaku yang mendadak hilang saat sebuah kecelakaan yang ku alami ketika aku meninggalkan Dimas dengan kekasih gelapnya. Shania.
***
Enam bulan kemudian….
Kecelakaan taksi yang aku alami itu merenggut fungsi kakiku. Aku masih beruntung Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bertahan hingga detik ini meskipun aku tak bisa lagi berjalan karena lumpuh.
Sejak putus dengan Dimas, aku merasakan kesepian yang luar biasa. Hari-hariku terasa sepi. Namun, satu orang yang mencoba untuk selalu menghiburku di saat aku tenggelam dalam kesedihan ini. Rio. Ia seperti malaikat penghibur yang dikirim untukku.
“Kikan, udah dong jangan sedih.” Ucap Rio sambil menoleh ke arahku ketika ia mengajakku ke suatu tempat yang ia rahasiakan dariku, menurutnya tempat itu akan sedikit membantuku untuk menyenangkan diri.
“Aku masih nggak bisa sepenuhnya melupakan Dimas, Ri,” ucapku seraya menundukkan kepalaku menahan air mata.
“Kikan, udah seharusnya kamu mencoba untuk melupakan dia. Kamu harus percaya kalau kamu pasti bisa,” Rio meyakinkanku.
“Nggak segampang itu aku melupakan Dimas. Aku sudah berusaha, tapi aku tak pernah mengerti mengapa perasaan ini masih ada,”
“Iya aku mengerti, Kikan. Mungkin suatu saat nanti, lambat laun kamu akan bisa melupakan Dimas. Aku pasti akan bantu kamu untuk melupakan dia,”
Aku hanya tersenyum, “Ri, terima kasih ya! Selama ini kamu baik sama aku. aku yakin, seseorang yang akan jadi pendamping kamu kelak pasti akan bahagia,”
“Hehehe bisa aja kamu, Ki!” jawabnya pendek.
Tak lama berselang, mobil kami berhenti di sebuah danau. Danau yang mengingatkanku pada Dimas. Rio mengangkatku, membantu aku duduk di kursi roda. Rio mendorong kursi roda yang aku duduki. Ia membawaku ke tepi danau.
“Ri, dari mana kamu tahu tempat ini?” Ucapku pada Rio. Heran.
“O ya, aku bawa kamu ke sini karena aku tahu kalo kamu pasti suka sama tempat ini, iya kan? Dan ini yang udah ngasih tahu aku,” jawab Rio sambil berjongkok di depanku sambil memberikan diaryku.
“Kenapa diary ini bisa ada di kamu?” tanyaku heran.
“Maaf ya, aku mengambilnya saat kamu tidur. Aku Cuma ingin tahu tentang kamu lebih dalam. Kikan, kamu tahu nggak kenapa aku membawa kamu ke tempat ini?”
Aku mengangkat kedua bahuku.
“Karena kamu memiliki sebuah mimpi di danau ini kan?”
“Mimpi?”
“Apakah kamu masih menyimpan mimpimu untuk memiliki rumah di tepi danau ini, seperti film Lake House yang pernah kamu tonton?,”
“Rio, dari mana kamu tahu hal itu? Kamu udah baca semua isi diaryku, ya!” responku sambil mencubit lengannya.
“Nggak semua, karena aku gak suka baca diary orang. Hehehe. Ki, aku boleh minta sesuatu nggak?”
“Apa?”
“Kamu pejamkan mata ya!” pinta Rio aneh.
Aku menuruti permintaannya. Aku memejamkan kedua mataku. Aku rasakan Rio meletakkan sesuatu di tanganku.
“Sekarang buka mata kamu, Ki!”
Perlahan, aku mulai membuka mataku. Kulihat sebuah kotak kecil berwarna merah berisi sebuah cincin di tanganku. Sebuah kejutan yang mengejutkan.
“Ki, kamu mau kan memulai semuanya denganku? Maukah kamu menikah denganku?”
Lagi. Aku meneteskan air mataku mendengar permintaan Rio. Aku menangis karena aku tidak bisa menerima permintaan Rio. Aku tidak ingin mengecewakannya. Rio tidak pantas untuk berdamping denganku karena hingga detk ini aku masih ingin bersama Dimas.
“Rio, maaf aku nggak bisa….”
***
September 2011
Sudah hampir dua tahun ini aku dan Rio tak pernah berjumpa. Kabar terakhir yang aku terima, Rio sedang melanjutkan kuliahnya di Ausie sambil menjalankan bisnis keluarga di sana.
Beberapa minggu setelah kejadian di danau beberapa tahun lalu  itu, kami memutuskan pertunangan yang kami jalani. Kami tahu bahwa hubungan itu tak akan pernah bisa menyatukan aku dan Rio. Setelah lama tak terdengar kabar, aku menerima sebuah surat yang berisi sebuah alamat yang harus aku kunjungi. Entahlah aku tak tahu alamat tersebut.
Sopir pribadiku mengantarkanku menuju alamat yang kuterima dari surat itu. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, kami sampai. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat sebuah rumah berwarna putih di tepi danau, persis dengan apa yang ada di benakku selama ini.
“Maaf, ini benar Mbak Kikan ya? Ada titipan dari yang punya rumah ini,” sapa seorang laki-laki para baya menghampiriku sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Aku membaca surat yang kuterima dari laki-laki tersebut.
28 Agustus 2011
Kikan, apa kabarmu? Tahukah kamu bahwa di sini aku sangat merindukanmu? Rasanya tak mampu pikiran yang ada di kepalaku ini jauh-jauh darimu. Kikan, maafkan aku karena selama ini aku menghilang sejak kita memutuskan hubungan kita. Aku melakukannya demi kamu.
Kikan, maaf juga jika saat kamu membaca surat ini, aku tidak menampakkan kehadiranku di sisimu. Betapa aku ingin menlihat wajahmu saat membaca surat ini. Sedih ataukah malah bahagia? Ki, aku ingin memberikanmu segelintir kebahagiaan. Meski aku tahu ini tak seberapa bagimu. Tapi, aku berharap kamu senang saat ini, karena aku mencoba untuk mewujudkan mimpimu melalui rumah kecil di tepi danau ini.
Mungkin bagimu aku bukanlah orang yang bisa membahagiakanmu, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu satu-satunya yang bisa memberiku bahagia. Percayalah padaku, bagiku mencintaimu adalah kebahagiaan terbesar untukku.
Kikan, jagalah hadiah kecil dariku ini untukku. Siapa tahu, suatu saat nanti bisa aku tempati denganmu....
                                                            Love you
                                                                Rio