“Mungkin
bagimu aku bukanlah orang yang bisa membahagiakanmu, tapi aku hanya ingin kamu
tahu bahwa kamu satu-satunya yang bisa memberiku bahagia.”
Sampai saat ini aku masih belum tahu alasan yang
jelas mengapa aku mau bertunangan dengan Rio. Bagiku, Rio adalah cowok yang
biasa saja, agak tampan tapi, dia memiliki perhatian yang sangat kepadaku.
Kadang aku berpikir, perhatiannya melebihi perhatian pacarku. Sahabatku sangat
setuju aku bertunangan dengannya. Ya, aku akui itu memang nilai plus buat dia. Namun, sejujurnya, aku
masih belum bisa menerima ia seutuhnya sebagai tunanganku.
Aku ingat benar saat aku dan dia dijodohkan. Aku
mengutarakan semua isi hatiku padanya. Aku tidakk menyangka bila ia tak akan
marah dengan apa yang telah aku katakan. Mungkin, kalau aku jadi Rio, aku sudah
menggagalkan pertunangan yang digelar hampir setahun yang lalu itu.
“Kamu kenapa? Gak suka ya
tunangan sama aku?” Tanya Rio memecah kesunyian suatu ketika saat kami berdua
di danau tempat aku mencurahkan perasaanku.
“Hah? Siapa yang bilang
begitu?”
“Kamu cerita saja sama
aku, aku mau kok dengerin ceritamu,” pintanya.
Aku memandang wajahnya,
“Rio, aku gak mau harus pura-pura bahagia di depan orangtuaku. Tebakanmu benar,
aku gak pernah menginginkan pertunangan ini terjadi. Aku udah punya seorang
kekasih,” aku memulai cerita.
“Lalu kenapa kamu mau
menerima pertunangan ini?” Tanya Rio lagi.
“Sebenarnya, aku gak mau
semua ini terjadi. Tapi, aku gak bisa mengecewakan kedua orangtuaku,”
“Jawabanmu polos banget
ya!” respon Rio sambil mengusap rambutku.
“Aku juga sama denganmu,
sebenarnya aku gak mau pertunangan ini terjadi. Entahlah, semakin aku berontak,
orangtuaku semakin memaksaku untuk menjalani hubungan ini. Tapi, aku yakin
bahwa gak selamanya pilihan orangtua kita adalah yang terbaik untuk kita. Kita
tak pernah tahu apa yang akan kita hadapi ke depannya, bukan begitu?” tambah
Rio bijak.
Aku tersenyum kecil,
“Jadi, kamu gak marah kalau aku nggak mau tunangan sama kamu?”
“Ngapain marah? Perasaan
kan gak bisa dipaksakan, bener nggak?” jawab Rio sambil menyenggol bahuku.
“Thanks ya!” jawabku lega.
Rio hanya mengangguk, “By the way, pacar kamu siapa? Udah lama pacaran?” Tanya Rio begitu hangat.
“Namanya Dimas, aku dan
dia sudah pacaran sejak kami duduk di bangku SMA, hampir sekitar enam tahunan
gitu, kalau kamu?”
“Hmmm aku gak pernah
punya pacar, kalaupun ada, itu berarti dialah cinta pertamaku.” Ujar Rio dengan
senyumannya yang aku akui lebih manis dari senyuman pacarku.
“Oya, benarkah? Masa
cowok seganteng kamu gak pernah punya pacar sih?” tanyaku heran.
“Iya, benar. Ngapain aku
mesti bohong sama kamu.”
***
Hari-hari selanjutnya, hubunganku dengan Rio
semakin dekat. Aku tak pernah sungkan untuk menceritakan masalahku padanya –
termasuk bila aku marahan dengan Dimas – setiap kali ada kesempatan. Justru,
moment itulah yang membuat hubunganku dengan Rio semakin hangat dan akrab
sehingga membuat orangtua kami yakin akan keberhasilan pertunangan yang telah
kami jalani ini.
Hampir setiap pagi, Rio rutin menjemputku untuk
mengantarkanku kuliah. Bukan hanya itu, Rio sepertinya telah menyediakan
waktukunya untukku sehingga setiap kali aku membutuhkannya ia selalu ada
untukku.
Seperti malam ini. Malam ini aku akan makan malam
dengan pasanganku, Dimas. Hampir setengah jam aku berdandan di depan cermin
kamar. Dengan gaun berwarna putih dan rambut yag kubiarkan terurai, aku siap
untuk menghabiskan malam mingguku ini.
“Sayang, udah ditungguin
tuh sama Rio di depan!” kata mamaku yang berdiri di depan pintu kamar.
“Oh ya, Ma! Nih aku udah
mau berangkat,” jawabku. Segera aku meraih tas tanganku dan meninggalkan
kamarku.
“Hati-hati ya! Selamat
bermalam minggu, sayang!” ujar mamaku sambil mencium keningku.
“Oke, Ma!” jawabku
kemudian berlalu meninggalkan mama.
Setibanya di depan rumah,
aku melihat Rio sedang menungguku di dalam mobilnya. Malam ini ia terlihat
begitu tampan dengan kemeja kotak-kotak yang dikenakannya.
“Maaf, nunggunya lama
ya!” aku meminta maaf seraya membuka pintu mobil dan duduk di sebelahnya.
“Nggak masalah.” Jawab
Rio pendek kemudian ia menghidupkan mesin mobilnya dan berlalu meninggalkan
rumahku.
Sepanjang perjalanan
menuju tempat makan malamku dengan
Dimas, kami tidak saling bicara seperti biasanya. Beberapa lagu yang terdengar
dari radio cukup membantu suasana sunyi yang tercipta di antara aku dan Rio.
Sebenarnya, malam ini aku nggak tahu harus berkata apa lagi, sebab ini adalah
malam mingguku yang kesekian, dimana Rio-lah yang mengantarkanku untuk
menghabiskan malam mingguku dengan Dimas. Ya, Rio hanya mengantarkanku saja.
Aku tak tahu harus berapa kali mengucapkan “terima kasih” atas kebaikannya
kepadaku selama ini.
“Kenapa diam aja?” Rio
mencoba mencarikan suasana.
“Gak pa-pa. Ri, terima
kasih ya! Aku gak tahu harus berapa kali bilang ini sama kamu, kamu baik banget
sama aku.” Balasku untuk memulai pembicaraan.
“Hahaha biasa aja lagi,
Ki!” responnya sambil tertawa lebar.
“Ini udah jadi
kewajibanku. Aku kan tunanganmu!” tambahnya sambil mengangkat alis kanannya.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang
menggemaskan itu. Tuhan, mengapa engkau membuatku bingung seperti ini? Rio tak
pantas untuk mendapatkan aku, dia terlalu baik untukku. Sedangkan aku? Aku
hanya seperti memanfaatkannya saja, sementara perasaanku tak pernah sedikitpun
ada untuk dia. Rio, semoga kamu mendapatkan seorang yang jauh lebih baik
dariku.
***
Sekitar pukul setengah duabelas siang, aku dan
Desi makan siang di kantin kampus. Suasana kampus begitu sesak dengan mahasiswa
yang tengah menghabiskan waktu break-nya.
“Kikan, kenapa kamu gak
putus aja sih sama Dimas? Sepertinya Rio lebih cocok deh sama kamu,” ucap Desi
mengangetkanku.
“Emang kenapa aku harus
putus sama Dimas?” tanyaku heran.
“Kamu tahu sendiri kan,
kamu sama dia udah putus-nyambung, putusnya sebagian besar karena dia jalan
sama cewek lain. Sedangkan kamu, masih maafin dia meski dia udah terlalu sering
ngelakuin hal itu.”
“Nggak, aku sampai
kapanpun nggak mau putus sama dia. Kamu tahu sendiri kan bagaimana susahnya
pengorbanan aku buat dapetin dia waktu SMA dulu. aku yakin kok, ujung-ujungnya
Dimas bakal balik sama aku.”
“Yah, ya terserah kamu
aja deh. aku harap kamu gak kecewa sama pilihanmu. Tapi, kamu sebaiknya siapin
mental kamu kalo seandainya tiba-tiba Dimas putusin kamu,”
“Kenapa kamu bisa ngomong
kayak gitu?”
“Aku gak tahu ya, kamu
sebenarnya nih tahu atau gak tahu kalo akhir-akhir ini banyak yang bilang kalo
Dimas deket sama Shania, temen sekelasnya.”
“Oh, ya aku tahu, aku
udah nanya kok sama Dimas. katanya, dia gak ada hubungan apa-apa, sekedar teman
buat sharing tentang dunia photography.”
“Hello! Nggak selamanya
kamu percaya sama omongannya dia, Ki. Kamu tahu kenapa kamu percaya sama dia?”
“Ya, karena dia jujur
sama aku,”
“Bukan, karena kamu
terlalu polos buat dibohongin.”
***
Menjelang sore, hatiku sedang galau berat.
Bagaimana tidak, sejak pulang kuliah Dimas tidak menghubungiku sama sekali.
Beberapa kali aku mencoba meneleponnya namun, ia tak kunjung menjawab. Apalagi
SMS yang aku kirimkan padanya tak ada satupun yang dibalas. Hingga akhirnya,
SMS mengejutkan itu muncul di layar handphone-ku dan membuatku semakin galau.
Oh, jdi kamu ya yg brnama
Kikan! Cantik sih, tapi syang pcar lo udah jlan sma aku.
Kamu siapa?. Balasku
Maaf ya, sbenarnya aku brat
buat nyatain ini smua, maaf juga klo aku udah bkin kmu kcewa sama Dimas. Aku
slingkuhan Dimas. jawab orang tersebut.
Oh ya? Heran deh, jdi slingkuhan aja bangga. Balasku lagi.
Mending jdi slingkuhan tpi dinomor satukan, ktimbang jdi pcar tpi cuman
jdi yg nomor dua, kasihan deh….
Hah! Aku benar-benar
kesal dengan balasan-balasan SMS dari orang yang tidak kukenal itu. Rasa
kekesalan yang ada di dalam hati memicuku untuk meneleponnya namun, tak pernah
ada jawaban. Aku penasaran dengan orang tersebut. Apakah benar dia selingkuhan
Dimas? Bukankah seharusnya aku percaya karena sudah beberapa kali aku putus
dengan Dimas dengan kejadian yang sama? Ah, mana mungkin?
***
Taksi berwarna biru itu berhenti menurunkanku di
depan sebuah rumah bercat hitam putih. Rumah yang tak asing bagiku, rumah
Dimas. Aku memutuskan untuk menemui Dimas ketika aku mendapatkan balasan SMS
yang menyakitkan beberapa waktu yang lalu itu. Aku ingin meminta penjelasan
dari Dimas secara langsung.
Aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah.
Setelah itu, mbok Mirah membukakan pintu rumah. Ia bilang kalau Dimas baru saja
keluar bersama seorang wanita. Apa benar itu selingkuhannya? Pertanyaan besar
itu menggeliat di kepalaku.
Hampir satu jam aku duduk di depan teras rumah Dimas.
Aku menunggu Dimas. Sampai akhirnya, seseorang dengan menggunakan motor sport
datang memasuki halaman rumah bersama seorang wanita yang diboncenginya.
Seketika itu, dadaku berdegup kencang tak terkendali. Entahlah, aku merasakan
cemburu dan kemarahan yang begitu hebat. Wanita inikah yang mengaku sebagai
selingkuhannya Dimas? Dan wanita itu adalah Shania.
“Kikan, udah lama?” Tanya
Dimas seraya membuka helm-nya.
“Dari mana saja kamu?
Kamu kok susah dihubungi? Apa benar kalau cewek ini jadi selingkuhanmu?”
cecarku tanpa basa-basi.
“Kikan, maksud kamu apa? Please, dengerin penjelasanku dulu!”
ucap Dimas memohon.
“Gak ada yang bisa kamu
jelaskan lagi, Dim! Semua udah jelas! Jelas, kalau kamu sudah gak cinta sam aku
lagi dan jelas kalau kamu jelas-jelas ada hubungan sama cewek ini. Aku heran
sama kamu, kenapa kamu masih mau menjalin hubungan denganku kalau kamu sendiri
udah gak bisa menjalin hubungan denganku lagi.”
“Kikan, aku mohon,
dengerin aku!”
“Buat apa aku dengerin
kamu? Hah?”
“Oke, lalu mau kamu apa?”
“Mulai saat ini juga,
jangan pernah hubungi aku lagi,” kataku kemudian berlalu meninggalkan dua orang
yang ada di hadapanku. Satu orang yang yang merebut seseorang yang aku cintai
dan satunya lagi seseorang yang tidak lagi bisa mencintaku.
***
Sebuah taksi segera
membawaku pergi meninggalkan rumah seesorang yang saat ini begitu membuat
hatiku hancur. Perasaanku semakin tak menentu. Aku tak pernah berpikir bahwa
semua akan berakhir seperti ini.
Di dalam taksi aku tak
bisa menahan air mata yang terus mendesak untuk keluar. Aku benar-benar kecewa
sekaligus kehilangan. Mengapa semua harus seperti ini? Selama perjalanan,
pikiranku melayang membuka lembaran-lembaran indah masa lalu dengan Dimas.
Kenangan yang sepertinya sulit untuk kulupakan.
Namun kenangan itu segera
menghilang seperti jiwaku yang mendadak hilang saat sebuah kecelakaan yang ku
alami ketika aku meninggalkan Dimas dengan kekasih gelapnya. Shania.
***
Enam bulan kemudian….
Kecelakaan taksi yang aku
alami itu merenggut fungsi kakiku. Aku masih beruntung Tuhan masih memberiku
kesempatan untuk bertahan hingga detik ini meskipun aku tak bisa lagi berjalan
karena lumpuh.
Sejak putus dengan Dimas,
aku merasakan kesepian yang luar biasa. Hari-hariku terasa sepi. Namun, satu
orang yang mencoba untuk selalu menghiburku di saat aku tenggelam dalam
kesedihan ini. Rio. Ia seperti malaikat penghibur yang dikirim untukku.
“Kikan, udah dong jangan
sedih.” Ucap Rio sambil menoleh ke arahku ketika ia mengajakku ke suatu tempat
yang ia rahasiakan dariku, menurutnya tempat itu akan sedikit membantuku untuk
menyenangkan diri.
“Aku masih nggak bisa
sepenuhnya melupakan Dimas, Ri,” ucapku seraya menundukkan kepalaku menahan air
mata.
“Kikan, udah seharusnya
kamu mencoba untuk melupakan dia. Kamu harus percaya kalau kamu pasti bisa,”
Rio meyakinkanku.
“Nggak segampang itu aku
melupakan Dimas. Aku sudah berusaha, tapi aku tak pernah mengerti mengapa
perasaan ini masih ada,”
“Iya aku mengerti, Kikan.
Mungkin suatu saat nanti, lambat laun kamu akan bisa melupakan Dimas. Aku pasti
akan bantu kamu untuk melupakan dia,”
Aku hanya tersenyum, “Ri,
terima kasih ya! Selama ini kamu baik sama aku. aku yakin, seseorang yang akan
jadi pendamping kamu kelak pasti akan bahagia,”
“Hehehe bisa aja kamu,
Ki!” jawabnya pendek.
Tak lama berselang, mobil
kami berhenti di sebuah danau. Danau yang mengingatkanku pada Dimas. Rio
mengangkatku, membantu aku duduk di kursi roda. Rio mendorong kursi roda yang
aku duduki. Ia membawaku ke tepi danau.
“Ri, dari mana kamu tahu
tempat ini?” Ucapku pada Rio. Heran.
“O ya, aku bawa kamu ke
sini karena aku tahu kalo kamu pasti suka sama tempat ini, iya kan? Dan ini
yang udah ngasih tahu aku,” jawab Rio sambil berjongkok di depanku sambil
memberikan diaryku.
“Kenapa diary ini bisa
ada di kamu?” tanyaku heran.
“Maaf ya, aku
mengambilnya saat kamu tidur. Aku Cuma ingin tahu tentang kamu lebih dalam.
Kikan, kamu tahu nggak kenapa aku membawa kamu ke tempat ini?”
Aku mengangkat kedua
bahuku.
“Karena kamu memiliki
sebuah mimpi di danau ini kan?”
“Mimpi?”
“Apakah kamu masih
menyimpan mimpimu untuk memiliki rumah di tepi danau ini, seperti film Lake
House yang pernah kamu tonton?,”
“Rio, dari mana kamu tahu
hal itu? Kamu udah baca semua isi diaryku, ya!” responku sambil mencubit
lengannya.
“Nggak semua, karena aku
gak suka baca diary orang. Hehehe. Ki, aku boleh minta sesuatu nggak?”
“Apa?”
“Kamu pejamkan mata ya!”
pinta Rio aneh.
Aku menuruti
permintaannya. Aku memejamkan kedua mataku. Aku rasakan Rio meletakkan sesuatu
di tanganku.
“Sekarang buka mata kamu,
Ki!”
Perlahan, aku mulai
membuka mataku. Kulihat sebuah kotak kecil berwarna merah berisi sebuah cincin
di tanganku. Sebuah kejutan yang mengejutkan.
“Ki, kamu mau kan memulai
semuanya denganku? Maukah kamu menikah denganku?”
Lagi. Aku meneteskan air
mataku mendengar permintaan Rio. Aku menangis karena aku tidak bisa menerima
permintaan Rio. Aku tidak ingin mengecewakannya. Rio tidak pantas untuk
berdamping denganku karena hingga detk ini aku masih ingin bersama Dimas.
“Rio, maaf aku nggak
bisa….”
***
September 2011
Sudah hampir dua tahun ini aku dan Rio tak pernah
berjumpa. Kabar terakhir yang aku terima, Rio sedang melanjutkan kuliahnya di
Ausie sambil menjalankan bisnis keluarga di sana.
Beberapa minggu setelah kejadian di danau beberapa
tahun lalu itu, kami memutuskan
pertunangan yang kami jalani. Kami tahu bahwa hubungan itu tak akan pernah bisa
menyatukan aku dan Rio. Setelah lama tak terdengar kabar, aku menerima sebuah
surat yang berisi sebuah alamat yang harus aku kunjungi. Entahlah aku tak tahu
alamat tersebut.
Sopir pribadiku mengantarkanku menuju alamat yang
kuterima dari surat itu. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, kami
sampai. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat sebuah rumah berwarna putih
di tepi danau, persis dengan apa yang ada di benakku selama ini.
“Maaf, ini benar Mbak
Kikan ya? Ada titipan dari yang punya rumah ini,” sapa seorang laki-laki para
baya menghampiriku sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Aku membaca surat
yang kuterima dari laki-laki tersebut.
28 Agustus 2011
Kikan, apa kabarmu? Tahukah
kamu bahwa di sini aku sangat merindukanmu? Rasanya tak mampu pikiran yang ada
di kepalaku ini jauh-jauh darimu. Kikan, maafkan aku karena selama ini aku
menghilang sejak kita memutuskan hubungan kita. Aku melakukannya demi kamu.
Kikan, maaf juga jika saat
kamu membaca surat ini, aku tidak menampakkan kehadiranku di sisimu. Betapa aku
ingin menlihat wajahmu saat membaca surat ini. Sedih ataukah malah bahagia? Ki,
aku ingin memberikanmu segelintir kebahagiaan. Meski aku tahu ini tak seberapa
bagimu. Tapi, aku berharap kamu senang saat ini, karena aku mencoba untuk
mewujudkan mimpimu melalui rumah kecil di tepi danau ini.
Mungkin bagimu aku bukanlah
orang yang bisa membahagiakanmu, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu
satu-satunya yang bisa memberiku bahagia. Percayalah padaku, bagiku mencintaimu
adalah kebahagiaan terbesar untukku.
Kikan, jagalah hadiah kecil
dariku ini untukku. Siapa tahu, suatu saat nanti bisa aku tempati denganmu....
Love you
Rio
Tidak ada komentar:
Posting Komentar