29 Agustus 2013

A Little White House




Mungkin bagimu aku bukanlah orang yang bisa membahagiakanmu, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu satu-satunya yang bisa memberiku bahagia.”

Januari 2008....

Sampai saat ini aku masih belum tahu alasan yang jelas mengapa aku mau bertunangan dengan Rio. Bagiku, Rio adalah cowok yang biasa saja, agak tampan tapi, dia memiliki perhatian yang sangat kepadaku. Kadang aku berpikir, perhatiannya melebihi perhatian pacarku. Sahabatku sangat setuju aku bertunangan dengannya. Ya, aku akui itu memang nilai plus buat dia. Namun, sejujurnya, aku masih belum bisa menerima ia seutuhnya sebagai tunanganku.
Aku ingat benar saat aku dan dia dijodohkan. Aku mengutarakan semua isi hatiku padanya. Aku tidakk menyangka bila ia tak akan marah dengan apa yang telah aku katakan. Mungkin, kalau aku jadi Rio, aku sudah menggagalkan pertunangan yang digelar hampir setahun yang lalu itu.
“Kamu kenapa? Gak suka ya tunangan sama aku?” Tanya Rio memecah kesunyian suatu ketika saat kami berdua di danau tempat aku mencurahkan perasaanku.
“Hah? Siapa yang bilang begitu?”
“Kamu cerita saja sama aku, aku mau kok dengerin ceritamu,” pintanya.
Aku memandang wajahnya, “Rio, aku gak mau harus pura-pura bahagia di depan orangtuaku. Tebakanmu benar, aku gak pernah menginginkan pertunangan ini terjadi. Aku udah punya seorang kekasih,” aku memulai cerita.
“Lalu kenapa kamu mau menerima pertunangan ini?” Tanya Rio lagi.
“Sebenarnya, aku gak mau semua ini terjadi. Tapi, aku gak bisa mengecewakan kedua orangtuaku,”
“Jawabanmu polos banget ya!” respon Rio sambil mengusap rambutku.
“Aku juga sama denganmu, sebenarnya aku gak mau pertunangan ini terjadi. Entahlah, semakin aku berontak, orangtuaku semakin memaksaku untuk menjalani hubungan ini. Tapi, aku yakin bahwa gak selamanya pilihan orangtua kita adalah yang terbaik untuk kita. Kita tak pernah tahu apa yang akan kita hadapi ke depannya, bukan begitu?” tambah Rio bijak.
Aku tersenyum kecil, “Jadi, kamu gak marah kalau aku nggak mau tunangan sama kamu?”
“Ngapain marah? Perasaan kan gak bisa dipaksakan, bener nggak?” jawab Rio sambil menyenggol bahuku.
Thanks  ya!” jawabku lega.
Rio hanya mengangguk, “By the way, pacar kamu siapa? Udah  lama pacaran?” Tanya Rio begitu hangat.
“Namanya Dimas, aku dan dia sudah pacaran sejak kami duduk di bangku SMA, hampir sekitar enam tahunan gitu, kalau kamu?”
“Hmmm aku gak pernah punya pacar, kalaupun ada, itu berarti dialah cinta pertamaku.” Ujar Rio dengan senyumannya yang aku akui lebih manis dari senyuman pacarku.
“Oya, benarkah? Masa cowok seganteng kamu gak pernah punya pacar sih?” tanyaku heran.
“Iya, benar. Ngapain aku mesti bohong sama kamu.”
***
Hari-hari selanjutnya, hubunganku dengan Rio semakin dekat. Aku tak pernah sungkan untuk menceritakan masalahku padanya – termasuk bila aku marahan dengan Dimas – setiap kali ada kesempatan. Justru, moment itulah yang membuat hubunganku dengan Rio semakin hangat dan akrab sehingga membuat orangtua kami yakin akan keberhasilan pertunangan yang telah kami jalani ini.
Hampir setiap pagi, Rio rutin menjemputku untuk mengantarkanku kuliah. Bukan hanya itu, Rio sepertinya telah menyediakan waktukunya untukku sehingga setiap kali aku membutuhkannya ia selalu ada untukku.
Seperti malam ini. Malam ini aku akan makan malam dengan pasanganku, Dimas. Hampir setengah jam aku berdandan di depan cermin kamar. Dengan gaun berwarna putih dan rambut yag kubiarkan terurai, aku siap untuk menghabiskan malam mingguku ini.
“Sayang, udah ditungguin tuh sama Rio di depan!” kata mamaku yang berdiri di depan pintu kamar.
“Oh ya, Ma! Nih aku udah mau berangkat,” jawabku. Segera aku meraih tas tanganku dan meninggalkan kamarku.
“Hati-hati ya! Selamat bermalam minggu, sayang!” ujar mamaku sambil mencium keningku.
“Oke, Ma!” jawabku kemudian berlalu meninggalkan mama.
Setibanya di depan rumah, aku melihat Rio sedang menungguku di dalam mobilnya. Malam ini ia terlihat begitu tampan dengan kemeja kotak-kotak yang dikenakannya.
“Maaf, nunggunya lama ya!” aku meminta maaf seraya membuka pintu mobil dan duduk di sebelahnya.
“Nggak masalah.” Jawab Rio pendek kemudian ia menghidupkan mesin mobilnya dan berlalu meninggalkan rumahku.
Sepanjang perjalanan menuju tempat makan malamku  dengan Dimas, kami tidak saling bicara seperti biasanya. Beberapa lagu yang terdengar dari radio cukup membantu suasana sunyi yang tercipta di antara aku dan Rio. Sebenarnya, malam ini aku nggak tahu harus berkata apa lagi, sebab ini adalah malam mingguku yang kesekian, dimana Rio-lah yang mengantarkanku untuk menghabiskan malam mingguku dengan Dimas. Ya, Rio hanya mengantarkanku saja. Aku tak tahu harus berapa kali mengucapkan “terima kasih” atas kebaikannya kepadaku selama ini.
“Kenapa diam aja?” Rio mencoba mencarikan suasana.
“Gak pa-pa. Ri, terima kasih ya! Aku gak tahu harus berapa kali bilang ini sama kamu, kamu baik banget sama aku.” Balasku untuk memulai pembicaraan.
“Hahaha biasa aja lagi, Ki!” responnya sambil tertawa lebar.
“Ini udah jadi kewajibanku. Aku kan tunanganmu!” tambahnya sambil mengangkat alis kanannya.
Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya yang menggemaskan itu. Tuhan, mengapa engkau membuatku bingung seperti ini? Rio tak pantas untuk mendapatkan aku, dia terlalu baik untukku. Sedangkan aku? Aku hanya seperti memanfaatkannya saja, sementara perasaanku tak pernah sedikitpun ada untuk dia. Rio, semoga kamu mendapatkan seorang yang jauh lebih baik dariku.
***
Sekitar pukul setengah duabelas siang, aku dan Desi makan siang di kantin kampus. Suasana kampus begitu sesak dengan mahasiswa yang tengah menghabiskan waktu break-nya.
“Kikan, kenapa kamu gak putus aja sih sama Dimas? Sepertinya Rio lebih cocok deh sama kamu,” ucap Desi mengangetkanku.
“Emang kenapa aku harus putus sama Dimas?” tanyaku heran.
“Kamu tahu sendiri kan, kamu sama dia udah putus-nyambung, putusnya sebagian besar karena dia jalan sama cewek lain. Sedangkan kamu, masih maafin dia meski dia udah terlalu sering ngelakuin hal itu.”
“Nggak, aku sampai kapanpun nggak mau putus sama dia. Kamu tahu sendiri kan bagaimana susahnya pengorbanan aku buat dapetin dia waktu SMA dulu. aku yakin kok, ujung-ujungnya Dimas bakal balik sama aku.”
“Yah, ya terserah kamu aja deh. aku harap kamu gak kecewa sama pilihanmu. Tapi, kamu sebaiknya siapin mental kamu kalo seandainya tiba-tiba Dimas putusin kamu,”
“Kenapa kamu bisa ngomong kayak gitu?”
“Aku gak tahu ya, kamu sebenarnya nih tahu atau gak tahu kalo akhir-akhir ini banyak yang bilang kalo Dimas deket sama Shania, temen sekelasnya.”
“Oh, ya aku tahu, aku udah nanya kok sama Dimas. katanya, dia gak ada hubungan apa-apa, sekedar teman buat sharing tentang dunia photography.
“Hello! Nggak selamanya kamu percaya sama omongannya dia, Ki. Kamu tahu kenapa kamu percaya sama dia?”
“Ya, karena dia jujur sama aku,”
“Bukan, karena kamu terlalu polos buat dibohongin.”
***
Menjelang sore, hatiku sedang galau berat. Bagaimana tidak, sejak pulang kuliah Dimas tidak menghubungiku sama sekali. Beberapa kali aku mencoba meneleponnya namun, ia tak kunjung menjawab. Apalagi SMS yang aku kirimkan padanya tak ada satupun yang dibalas. Hingga akhirnya, SMS mengejutkan itu muncul di layar handphone-ku dan membuatku semakin galau.
Oh, jdi kamu ya yg brnama Kikan! Cantik sih, tapi syang pcar lo udah jlan sma aku.
Kamu siapa?. Balasku
Maaf ya, sbenarnya aku brat buat nyatain ini smua, maaf juga klo aku udah bkin kmu kcewa sama Dimas. Aku slingkuhan Dimas.  jawab orang tersebut.
Oh ya? Heran deh, jdi slingkuhan aja bangga. Balasku lagi.
Mending jdi slingkuhan tpi dinomor satukan, ktimbang jdi pcar tpi cuman jdi yg nomor dua, kasihan deh….
Hah! Aku benar-benar kesal dengan balasan-balasan SMS dari orang yang tidak kukenal itu. Rasa kekesalan yang ada di dalam hati memicuku untuk meneleponnya namun, tak pernah ada jawaban. Aku penasaran dengan orang tersebut. Apakah benar dia selingkuhan Dimas? Bukankah seharusnya aku percaya karena sudah beberapa kali aku putus dengan Dimas dengan kejadian yang sama? Ah, mana mungkin?
***
Taksi berwarna biru itu berhenti menurunkanku di depan sebuah rumah bercat hitam putih. Rumah yang tak asing bagiku, rumah Dimas. Aku memutuskan untuk menemui Dimas ketika aku mendapatkan balasan SMS yang menyakitkan beberapa waktu yang lalu itu. Aku ingin meminta penjelasan dari Dimas secara langsung.
Aku melangkahkan kakiku menuju teras rumah. Setelah itu, mbok Mirah membukakan pintu rumah. Ia bilang kalau Dimas baru saja keluar bersama seorang wanita. Apa benar itu selingkuhannya? Pertanyaan besar itu menggeliat di kepalaku.
Hampir satu jam aku duduk di depan teras rumah Dimas. Aku menunggu Dimas. Sampai akhirnya, seseorang dengan menggunakan motor sport datang memasuki halaman rumah bersama seorang wanita yang diboncenginya. Seketika itu, dadaku berdegup kencang tak terkendali. Entahlah, aku merasakan cemburu dan kemarahan yang begitu hebat. Wanita inikah yang mengaku sebagai selingkuhannya Dimas? Dan wanita itu adalah Shania.
“Kikan, udah lama?” Tanya Dimas seraya membuka helm-nya.
“Dari mana saja kamu? Kamu kok susah dihubungi? Apa benar kalau cewek ini jadi selingkuhanmu?” cecarku tanpa basa-basi.
“Kikan, maksud kamu apa? Please, dengerin penjelasanku dulu!” ucap Dimas memohon.
“Gak ada yang bisa kamu jelaskan lagi, Dim! Semua udah jelas! Jelas, kalau kamu sudah gak cinta sam aku lagi dan jelas kalau kamu jelas-jelas ada hubungan sama cewek ini. Aku heran sama kamu, kenapa kamu masih mau menjalin hubungan denganku kalau kamu sendiri udah gak bisa menjalin hubungan denganku lagi.”
“Kikan, aku mohon, dengerin aku!”
“Buat apa aku dengerin kamu? Hah?”
“Oke, lalu mau kamu apa?”
“Mulai saat ini juga, jangan pernah hubungi aku lagi,” kataku kemudian berlalu meninggalkan dua orang yang ada di hadapanku. Satu orang yang yang merebut seseorang yang aku cintai dan satunya lagi seseorang yang tidak lagi bisa mencintaku.
***
Sebuah taksi segera membawaku pergi meninggalkan rumah seesorang yang saat ini begitu membuat hatiku hancur. Perasaanku semakin tak menentu. Aku tak pernah berpikir bahwa semua akan berakhir seperti ini.
Di dalam taksi aku tak bisa menahan air mata yang terus mendesak untuk keluar. Aku benar-benar kecewa sekaligus kehilangan. Mengapa semua harus seperti ini? Selama perjalanan, pikiranku melayang membuka lembaran-lembaran indah masa lalu dengan Dimas. Kenangan yang sepertinya sulit untuk kulupakan.
Namun kenangan itu segera menghilang seperti jiwaku yang mendadak hilang saat sebuah kecelakaan yang ku alami ketika aku meninggalkan Dimas dengan kekasih gelapnya. Shania.
***
Enam bulan kemudian….
Kecelakaan taksi yang aku alami itu merenggut fungsi kakiku. Aku masih beruntung Tuhan masih memberiku kesempatan untuk bertahan hingga detik ini meskipun aku tak bisa lagi berjalan karena lumpuh.
Sejak putus dengan Dimas, aku merasakan kesepian yang luar biasa. Hari-hariku terasa sepi. Namun, satu orang yang mencoba untuk selalu menghiburku di saat aku tenggelam dalam kesedihan ini. Rio. Ia seperti malaikat penghibur yang dikirim untukku.
“Kikan, udah dong jangan sedih.” Ucap Rio sambil menoleh ke arahku ketika ia mengajakku ke suatu tempat yang ia rahasiakan dariku, menurutnya tempat itu akan sedikit membantuku untuk menyenangkan diri.
“Aku masih nggak bisa sepenuhnya melupakan Dimas, Ri,” ucapku seraya menundukkan kepalaku menahan air mata.
“Kikan, udah seharusnya kamu mencoba untuk melupakan dia. Kamu harus percaya kalau kamu pasti bisa,” Rio meyakinkanku.
“Nggak segampang itu aku melupakan Dimas. Aku sudah berusaha, tapi aku tak pernah mengerti mengapa perasaan ini masih ada,”
“Iya aku mengerti, Kikan. Mungkin suatu saat nanti, lambat laun kamu akan bisa melupakan Dimas. Aku pasti akan bantu kamu untuk melupakan dia,”
Aku hanya tersenyum, “Ri, terima kasih ya! Selama ini kamu baik sama aku. aku yakin, seseorang yang akan jadi pendamping kamu kelak pasti akan bahagia,”
“Hehehe bisa aja kamu, Ki!” jawabnya pendek.
Tak lama berselang, mobil kami berhenti di sebuah danau. Danau yang mengingatkanku pada Dimas. Rio mengangkatku, membantu aku duduk di kursi roda. Rio mendorong kursi roda yang aku duduki. Ia membawaku ke tepi danau.
“Ri, dari mana kamu tahu tempat ini?” Ucapku pada Rio. Heran.
“O ya, aku bawa kamu ke sini karena aku tahu kalo kamu pasti suka sama tempat ini, iya kan? Dan ini yang udah ngasih tahu aku,” jawab Rio sambil berjongkok di depanku sambil memberikan diaryku.
“Kenapa diary ini bisa ada di kamu?” tanyaku heran.
“Maaf ya, aku mengambilnya saat kamu tidur. Aku Cuma ingin tahu tentang kamu lebih dalam. Kikan, kamu tahu nggak kenapa aku membawa kamu ke tempat ini?”
Aku mengangkat kedua bahuku.
“Karena kamu memiliki sebuah mimpi di danau ini kan?”
“Mimpi?”
“Apakah kamu masih menyimpan mimpimu untuk memiliki rumah di tepi danau ini, seperti film Lake House yang pernah kamu tonton?,”
“Rio, dari mana kamu tahu hal itu? Kamu udah baca semua isi diaryku, ya!” responku sambil mencubit lengannya.
“Nggak semua, karena aku gak suka baca diary orang. Hehehe. Ki, aku boleh minta sesuatu nggak?”
“Apa?”
“Kamu pejamkan mata ya!” pinta Rio aneh.
Aku menuruti permintaannya. Aku memejamkan kedua mataku. Aku rasakan Rio meletakkan sesuatu di tanganku.
“Sekarang buka mata kamu, Ki!”
Perlahan, aku mulai membuka mataku. Kulihat sebuah kotak kecil berwarna merah berisi sebuah cincin di tanganku. Sebuah kejutan yang mengejutkan.
“Ki, kamu mau kan memulai semuanya denganku? Maukah kamu menikah denganku?”
Lagi. Aku meneteskan air mataku mendengar permintaan Rio. Aku menangis karena aku tidak bisa menerima permintaan Rio. Aku tidak ingin mengecewakannya. Rio tidak pantas untuk berdamping denganku karena hingga detk ini aku masih ingin bersama Dimas.
“Rio, maaf aku nggak bisa….”
***
September 2011
Sudah hampir dua tahun ini aku dan Rio tak pernah berjumpa. Kabar terakhir yang aku terima, Rio sedang melanjutkan kuliahnya di Ausie sambil menjalankan bisnis keluarga di sana.
Beberapa minggu setelah kejadian di danau beberapa tahun lalu  itu, kami memutuskan pertunangan yang kami jalani. Kami tahu bahwa hubungan itu tak akan pernah bisa menyatukan aku dan Rio. Setelah lama tak terdengar kabar, aku menerima sebuah surat yang berisi sebuah alamat yang harus aku kunjungi. Entahlah aku tak tahu alamat tersebut.
Sopir pribadiku mengantarkanku menuju alamat yang kuterima dari surat itu. Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam, kami sampai. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat sebuah rumah berwarna putih di tepi danau, persis dengan apa yang ada di benakku selama ini.
“Maaf, ini benar Mbak Kikan ya? Ada titipan dari yang punya rumah ini,” sapa seorang laki-laki para baya menghampiriku sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Aku membaca surat yang kuterima dari laki-laki tersebut.
28 Agustus 2011
Kikan, apa kabarmu? Tahukah kamu bahwa di sini aku sangat merindukanmu? Rasanya tak mampu pikiran yang ada di kepalaku ini jauh-jauh darimu. Kikan, maafkan aku karena selama ini aku menghilang sejak kita memutuskan hubungan kita. Aku melakukannya demi kamu.
Kikan, maaf juga jika saat kamu membaca surat ini, aku tidak menampakkan kehadiranku di sisimu. Betapa aku ingin menlihat wajahmu saat membaca surat ini. Sedih ataukah malah bahagia? Ki, aku ingin memberikanmu segelintir kebahagiaan. Meski aku tahu ini tak seberapa bagimu. Tapi, aku berharap kamu senang saat ini, karena aku mencoba untuk mewujudkan mimpimu melalui rumah kecil di tepi danau ini.
Mungkin bagimu aku bukanlah orang yang bisa membahagiakanmu, tapi aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu satu-satunya yang bisa memberiku bahagia. Percayalah padaku, bagiku mencintaimu adalah kebahagiaan terbesar untukku.
Kikan, jagalah hadiah kecil dariku ini untukku. Siapa tahu, suatu saat nanti bisa aku tempati denganmu....
                                                            Love you
                                                                Rio

Tidak ada komentar:

Posting Komentar