Malam semakin larut. Udara dingin begitu menusuk dan memeluk erat tubuh
ini. Bintang-bintang dan rembulan kian benderang menerangi malam yang
begitu cerah. Malam yang indah. Malam yang mengingatkanku pada sesosok
wanita yang pernah menjadi kekuatan dalam hidupku.
Aku berdiri di
jendela apartmentku. Ku lihat pemandangan malam yang begitu indah.
Terlihat lampu-lampu kota Bandung berkilauan dari apartmentku. Sengaja
aku pilih apartment di daerah Dago agar aku bisa melihat pemandangan
indah seperti ini. Di tengah pulasnya Diana - istriku - aku memandangi
pemandangan itu sambil menulis puisi dengan rangkaian kata yang indah
mengalun senada dengan langkah jemariku. Heran deh, aku tak tahu mengapa
aku jadi hobi menulis puisi, padahal dulunya aku hanya iseng. Semua ini
karena Zahra, sahabat terbaikku. Dia yang membuatku seperti saat ini,
menjadi penulis puisi yang sukses. Zahra apa kabarmu malam ini? Apa kau
juga mengingatku? Zahra, aku tak tahu mengapa malam ini aku
merindukanmu. Aku ingin kita bersama seperti dulu. Sejenak aku
memandangi langit yang bertaburan dengan bintang. Aku menerawang jauh ke
langit dan membawa jiwaku pada masa-masa SMA-ku dengan Zahra....
Surabaya, Juli 2005...
Siang
itu aku memasuki ruang kelasku. Kelas yang berisikan orang-orang
berpenampilan mewah. Kelas yang membuatku minder karena aku beda dengan
mereka. Mereka orang kalangan atas sedangkan aku? Aku hanya orang biasa
yang apa adanya. Sudah tiga bulan lebih aku di kelas itu, selama itu
juga aku tak mendapatkan temen dekat satupun. Hingga akhirnya aku
mengenal Zahra, cewek smart, supel dan cantik dengan jilbab yang
membuatnya mempesona. Suatu hari Zahra menyapaku yang sedang menulis
puisi di buku bersampul ungu. Saat itu hanya dia cewek pertama yang
menyapaku lebih dekat. Dia juga menanyakan mengapa aku tak bergaul
dengan teman-teman yang lain. Aku hanya menjawab aku gak PD. Namun,
sepertinya Zahra tahu kalau aku minder untuk bergaul dengan mereka.
Siang itu juga Zahra menanyakan tentang buku bersampul ungu-ku. Awalnya
aku malu menjawab kalau itu kumpulan puisi karyaku tapi, aku kemudian
menjawab dengan jujur. Zahra terlihat penasaran dan ingin meminjam buku
itu. Sejak saat itu juga Zahra mulai dekat denganku. Dia selalu membaca
puisi-puisi yang sering aku tulis. Sampai pada suatu hari, Zahra
memberiku sebuah amplop berisi uang. Aku tak tahu itu uang apa. Zahra
bilang kalau itu adalah royalti atas puisiku. Dasar Zahra, dia mengirim
puisi ke penerbit.
Sejak bertemu dan mengenal Zahra aku merasa
hidupku bermakna. Beberapa kali Zahra menemaniku menulis puisi. Bagiku
Zahra lebih dari sekedar sahabat dan akupun merasa kalau diam-diam aku
mencintainya. Tapi, belum sempat aku menyatakan cintaku, aku terpisah
dengan Zahra. Di ujung SMA, aku menemuinya. Selama aku mengenalnya aku
tak pernah memberinya sesuatu sebagai ucapan terima kasihku karena telah
membangkitkanku. Di hari perpisahan itu, aku menuliskan puisi untuknya.
Zahra membaca puisi itu dan meneteskan air matanya. Saat terakhir itu
Zahra juga bilang kalau dia tak akan melupakan aku. Aku menahan air
mataku melihat mata Zahra yang berkaca-kaca. Zahra kau adalah sahabat
terindahku, sahabat terbaikku. Sampai kapanpun aku tak akan bisa
menghapusmu dari otakku.
Tak ku sadari air mataku jatuh membasahi
secarik kertas berisi puisi terakhir yang ku beri pada Zahra. Zahra
semangatnya tak pernah mati. Cerianya akan selalu terkenang. Zahra apa
kabarmu? Aku ingin bertemu denganmu? Apakah malam ini kau tahu aku
merindukanmu? Apakah kau tahu malam ini aku membaca puisi terakhirku
untukmu itu?
this story posted first time here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar